Tuesday, May 31, 2016

Akibat Nonton Acara Korea dan Hubungannya dengan Indonesia

Saya suka sekali nonton acara korea, tapi dipilah-pilah. Nah, kalau saya suka drama korea juga biasanya drama yang lucu atau action atau seputar keluarga. Kalau cinta-cinta atau terlalu terkenal biasanya tidak suka. Selain itu, saya juga suka reality show-nya. Yang saya acungi jempol adalah genre-genre ini membawa banyak sekali (meski tidak semua) pesan moral yang, dalam hal ini, juga dibutuhkan orang Indonesia.

Jadi begini. Pertama saya tekankan kalau tidak semua dramanya bagus. Namun beberapa drama favorit saya selalu menarik karena akting para pemeran totalitas. Saya bisa dibawa tertawa terbahak-bahak lalu mengharu biru dalam film yang sama. Nah, saya selalu suka karena tiap episode selalu ditutup dengan prolog yang tidak selalu sedih namun membuat para penonton mendapat maksud baik dari ceritanya. Meski saya akui Korea sekarang juga terlalu bebas dalam pergaulannya atau hal-hal yang tidak cocok untuk masyarakat kita (dalam dramanya lho ya), tapi yang saya tekankan adalah fakta bahwa Indonesia juga bisa membuat drama macam ini. Drama yang bisa membuat penonton berpikir cerdas dalam memandang hidupnya dan menghargai sesama dengan karakter bangsa kita. Yang saya tahu, film-film Indonesia mulai beralih lebih berbobot mengingat pasang surutnya. Namun film adalah sesuatu yang susah dijangkau masyarakat karena tidak semua masyarakat mau ke bioskop untuk nonton film kecuali memang mereka hobi (atau marketing-nya keren). Jadi, seharusnya sinetron-sinetron di televisi bisa mengubah fokus dan tujuannya.

Kedua, reality show-nya. Kalau saya perhatikan, entah itu palsu atau tidak atau bagaimana saya juga tidak tahu, tapi saya sangat suka dengan reality show mereka. Setiap artis dilibatkan dalam acara reality show mereka yang beragam jenisnya mulai dari games, acara keluarga, travelling, hingga kompetisi. Satu hal yang saya bisa simpulkan, meski misal dalam genre travelling mereka mempunyai beberapa acara, namun tiap acara tidak membosankan. Mereka mempunyai karakter acara masing-masing. Mungkin untuk games dan games keluarga kita sudah sangat familiar dengan beberapa acara yang terkenal. saya ambil contoh yang saya barusan saja terinspirasi adalah acara kompetisi menyanyi. Saat mereka membuat acara kompetisi menyanyi untuk dewasa dan anak-anak, konsep mereka begitu berbeda. Sangat berbeda. Bahkan, kompetisi anak-anak tidak seperti kompetisi namun lebih kepada pendidikan menyanyi untuk anak-anak sehingga fokus mereka bukan untuk menang.

Barusan saya selesai melihat program berjudul actor school di channel M yang kebetulan masuk ke final episode. Saya tidak mengikuti acara ini secara penuh hingga hanya mempunyai gambaran besar kalau acara ini merupakan sekolah untuk para aktor. Lagi-lagi saya selalu menikmati proses bagaimana konsep acara seperti ini dibuat. Penonton tidak pernah dibiarkan bosan, malah sangat menikmati acara ini dan menyerap ilmunya.

Nah saya kembali lagi ke Indonesia yang sepertinya belakangan lagi suka sambat sama siswa yang kelakuannya begini dan juga guru yang serba salah menjalankan perannya sebagai pendidik. Cara ini pantas dicoba, membuat sekolah yang ditampilkan di TV dengan seleksi siswa yang ketat sehingga sekolah TV ini menjadi lebih prestigious dengan pendidik yang merupakan public figure, dengan tim pendidik yang kreatif. Jadi seperti internship. Akan susah memang, karena kalau saya perhatikan, acara korea begitu membutuhkan waktu yang lama juga dalam pembuatannya. Tapi bukannya hasilnya akan keren sekali. Anak-anak yang terbiasa mendapat hiburan di rumah dengan menonton televisi dapat menikmati acara ini tanpa bosan sekalian mengambil ilmunya. Selain itu, pendidik lain yang mungkin kebanyakan juga kewalahan dengan karakter murid sekarang bisa mengambil pelajaran dari acara sejenis ini.

Dan banyak acara lainnya (atau drama lainnya).

TV itu media yang masih sangat awet hingga sekarang. Jadi, sepertinya mengadaptasi hal positif melalui media luar negeri selama hal itu berdampak positif pasti menghasilkan sesuatu. Sekalian memberi pelajaran tanpa mengganggu zona nyaman penonton yang beragam ini.
Namun banyak yang memberatkan rating. Jadi sedih.



Thursday, May 26, 2016

Ternyata definisi (hampir) gagal membuat saya melakukan hal berbeda dari apa yang saya prediksikan. Ternyata gagal memang hanya sebuah keadaan yang diartikan tiap orang berbeda. Ternyata saya masih keras kepala untuk move on dan berusaha. Ternyata begitu. Sesimpel itu. Semangat!

Sunday, May 22, 2016

Diamnya Seorang Ayah dan Cintanya yang Luar Biasa.

Ibu sekarang sendirian tapi beliau tetap terlihat begitu kuat. Nanti saja kalau cerita tentang ibu juga akan sangat panjang. Kali ini tentang ayah.

Aku tidak mau menghitung tahun berlalu sejak ayah tidak ada. Tapi, cintanya masih terasa hingga sangat kami rindukan. Terutama ibu. Iya pasti begitu. Ayah bukan tipe orang yang suka memuji. Bahkan untuk anaknya, ibu yang mengambil peran itu. Namun ayah juga tidak pernah merasa kecewa sekalipun kepada anaknya. Meski begitu, diamnya ayah selalu dapat aku artikan. Diam itulah cara ayah menyampaikan cinta. Bagaimana tidak, aku tahu saat ayah merasa sangat bangga kepadaku tentang prestasi anak kecil ini di sekolah atau terkadang kecewanya ayah ketika aku yang masih kecil lupa waktu dan melewatkan asar karena main sepak bola. Tapi ayah adalah pelawak alami yang selalu membuat kami tertawa.

Ayah tidak pernah bilang cinta, tapi ayah juga tidak pernah mengeluh sedikitpun tentang keadaan. Ayah selalu mau mengantar ibu ke mana pun. Bahkan rela panas-panasan. Ayah tidak pernah terlambat dan ingkar janji. Bahkan tidak pernah menyepelekan sesuatu. Jika sakit, beliau tidak pernah bilang sakit. Jika gajian, semua uang beliau langsung diberikan kepada ibu sebagai bendahara rumah. Cuma ibu yang tahu masalah ayah. Pun cuma ayah yang tahu masalah ibu. Ayah tidak pernah berlebihan akan sesuatu.

Ayah itu, sosok yang tahu kapan harus berbicara serius. Seperti saat aku gagal masuk snmptn undangan tahun 2011 lalu karena pilihan yang terlalu muluk. Atau saat aku menunggu pengumuman snmptn tulis dan ujian masuk PENS. Beliau bilang kalau gagal aku selalu punya kesempatan lain.

Terlepas dari keluargaku yang juga seperti keluarga lainnya yang mempunyai masalah, saya tahu ayah dan ibu selalu kompak tentang prinsip dan saling mendukung. Bahkan perasaan beliau berdua meski tidak tergambar dengan perkataan mesra di depan anak-anaknya selalu tetap memancarkan cinta luar biasa dari tiap tindakannya.

Kalau sekarang ayah tiada, aku tahu menggantikan posisi ayah tidaklah mudah. Tapi masih mempunyai satu orang tua yang luar biasa berjasa dalam hidupku tidak akan kusia-siakan. Setidaknya, meski mustahil untuk membalas semua jasa ibu yang luar biasa ini, kami harus mencoba berbakti. Harus.

Kami sangat rindu ayah.

Saturday, April 09, 2016

Creating Innovators by Tony Wagner

Hi guys,
I eventually start my reading project, and of course, my writing project in my blog. I understand that starting this new thing happened in my life as daily activity is uneasy. It is, however, something I need to do as training to build my habit to write. Please, judge. I open myself for every single advice from everyone as friend or (foe).
For the background, this first project elucidates a book for guiding educators as parents, lecturers, tutors, and teachers to have big image to lead young people become innovators for their nations.
I haven't read it more than five pages since I just bought the book about three hours ago. So, apologise for this swallow prolog.
Well, since this post implied my commitment to practice in writing, I think this explanation is sufficient for my declaration.

Regards,
Junior writer (I don't even understand why I called myself like that).

Friday, April 01, 2016

“Kita mencari orang-orang yang sudah selesai dengan urusannya masing-masing, mereka yang sudah diwakafkan keluarganya untuk publik” - Rhenald Kasali.

Bagus pak.

Tuesday, March 22, 2016

"Akhirnya gue paham kenapa meski orang baik belum tentu orang yang dia cintai bakal bareng sama dia. Simple banget. Karena orang baik belum tentu asyik. Well, kadang gue ngerasa ada cowok yang baik banget sama gue, sampe kadang gue luka dikit aja dia heboh banget sampe nggak rela. Tapi, insting gue lebih milih dia yang asyik diajak nantang dunia, yang kerjaannya bukan cuma baik banget sama gue tapi bikin gue pergi dari zona nyaman dan gue yakin kadang selain bikin gue tambah baik, maybe at some moments he just make me worse with no purpose. Karena gue yakin hidup juga bukan tentang jadi baik tanpa cela. Iman aja fluktuatif, apalagi kita sebagai individu. Pastikan aja, jodoh itu menentramkan dan membuat pola transformasi kehidupan kita. Jadi selain tentram dan nyaman, kita juga butuh yang namanya ample amount of insecurity untuk selalu mendekatkan satu sama lain, mengkritik satu sama lain, membaikkan satu sama lain. Jangan capek aja deh sebagai manusia yang udah berkomitmen satu sama lain buat selalu adaptasi. Ya kata orang-orang sih begitu, kalau udah nikah mah adaptasi nggak ada habisnya. PR besarnya adalah, pas kita ngambil keputusan 'fix gue mau nikah ama elu', kita udah harus ada di posisi nyaman dan yakin. Sisanya tinggal ikhtiar sama doa, berjuang mati-matian sampe mampus beneran dan abadi dunia akhirat. Gampang banget gue ngomongnya. Implementasinya belepotan. Tapi, indahnya berjuang kan selalu berusaha memperkecil persen eror, ya kan anak eksak?"

Yang penting sayang. *judul baper abis* *tapi nggak nyambung*

Setelah begitu banyak undangan berkeliaran di jadwal mingguan, saya sendiri ikut senang menyaksikan fenomena ini. Sedikit-sedikit dan secara bertahap saudara seperjuangan dan juga kakak senior bahkan junior saya melangkah dengan berani untuk menyempurnakan separuh agama.
Saya?
Ah saya masih begini-begini saja. Seperti dulu, kadang masih suka membaurkan tangan dengan yang lebih muda, lihat-lihat kampus. Kadang juga menjalani rutinitas biasa setiap hari di rumah, dengan kata lain belajar menjadi ibu rumah tangga. Saya yang dulunya menghabiskan waktu begitu banyak di kampus, tiap pagi mulai belajar memasak dan merutinkan apapun yang ibu rumah tangga lakukan, dengan, berusaha mewujudkan mimpi-mimpi dan obsesi saya. Jangan ditanya sudah berhasil atau belum. Didoakan saja.
Tapi, kawan, pada akhirnya semua ini memunculkan ketakutan tersendiri untuk menikah. Entahlah. It is not as easy as we think. Kadang, kalau melihat saya yang terbiasa menang, pada akhirnya akan sulit menyatukan prinsip saya dan pasangan nantinya. Tapi bicara tentang prinsip, saya mencatat kriteria utama calon adalah berprinsip dan bertujuan yang sama.
Bagaimana dengan emosi? Aduh, emosi saya kalau sudah baper suka amburadul. Mungkin memang harus belajar mendinginkan kepala dan didinginkan oleh calon suami ya. Hehe.
Pesan ibu saya, secara pribadi mensyaratkan selain agama dan prinsip yang sejalan, beliau selalu berkata untuk menemukan seseorang yang mencintai saya lebih dari saya mencintai dia. Alasannya mungkin terdengar egois ya, tapi memang pada akhirnya takar perasaan perempuan selalu bertambah selama bergulirnya waktu, berbeda dengan laki-laki. Perempuan akan mengabdi dan terus memberi lebih dari apa yang diterimanya. Tak heran ibu saya berpesan seperti itu mengingat ibu dan ayah saya adalah pasangan paling romantis sedunia yang sudah makan asam manis cinta. Tsaaaahh
Terlepas itu semua, menikah adalah perjalanan panjang yang bukan hanya enaknya saja. Tetapi kita akan belajar berjuang bersama. Akan ada masa ketika hari akan dihabiskan dengan pertengkaran yang tiada habisnya hingga mencari tujuan awal bersama akan sangat sulit, bahkan beberapa orang akan gugur untuk mengingatnya. Menikah tak sebercanda itu. Bayangkan betapa beratnya menikah dengan perumpamaan menyempurnakan separuh agama. Agama itu begitu berat dipikul, namun manis hingga jiwa jika berhasil meraihnya.
Alasan-alasan mengapa saya masih takut dan berpikir panjang, mungkin belum saatnya takdir itu datang mengetuk pintu rumahku dengan walinya dan membuat saya berani melangkahkan kaki ke sana. Meski takut begitu, saya selalu berharap semoga ketika ia datang, bukan hanya ia yang siap, namun saya juga. Pun begitu, semoga kami diberi sabar hingga memikul tugas berat untuk agama.
Kapan pun itu, kuharap apa yang kami berdua akan bawa nantinya akan abadi sebagai pasangan dunia akhirat. Yang menghadapi beratnya dunia dengan susah payah namun selalu bersama.

Jedekduuussssss! Untuk kedua kalinya, standing applause untuk yang sudah berani menikah.

Tuesday, January 05, 2016

Menjadi manusia bermental emas.

Beberapa peran yang sedang saya jalankan membuat saya bertemu banyak orang dengan karakter macam-macam. Saya sih asyik-asyik saja karena saya suka berinteraksi dengan karakter yang warna-warni. Cuma pada akhirnya saya menuju ke satu kesimpulan. Benar-benar terjadi memang. Bahkan terjadi di tiap lapisan masyarakat, dari yang katanya berpendidikan dengan lembaran ijazah, sertifikat, dan lainnya, hingga masyarakat kecil. Kita benar-benar mempunyai mental tunduk pada orang yang berkuasa. Beberapa kali menghadapi situasi di mana saya agak tidak dihargai sebagai partner kerja karena mereka berorientasi pada uang. Tidak masalah sih selama mereka profesional. Cuma ternyata kita terlalu banyak meminta sebelum memberi manfaat. Bagus kok kalau kita mempertahankan hak kita. Tapi kalau belum apa-apa sudah menuntut, beda lagi cerita. Sedangkan di televisi selalu marak berita minta ini-itu. Mulai masyarakat biasa seperti saya hingga papa minta saham dan lain sebagainya. Kalau ditegasi sedikit bisa melonjak marah, seperti pertengkaran lalu lintas yang tak ada habisnya. Kalau dimarahi atasan, salah atau tidak tetap diam. Hmmm.
Ada lagi keadaan di mana atasan yang berkuasa sok menjadi penguasa segalanya. Katany sih, mem-fir'aun-kan diri sendiri. Tapi kata mereka, nyatanya kita-kita sendiri yang juga memperlakukan mereka seperti fir'aun. Aduh, hidup begini susahnya. Jangan menyerah saja. Sudah banyak yang melenyapkan prinsipnya sendiri. Jangan jadi begitu. Menaruh empati dan toleransi pada tempatnya. Seperti menempatkan ketegasan dan profesionalitas pada penyeimbangnya.