Rasa. Kalau dibahas tidak ada habisnya. Belakangan sepertinya kami terlalu sempit mendefinisikan rasa. Jatuh, terlalu dalam. Rasanya harus siap dihempaskan ribuan kali bahkan ketika kami sadar kami belum sampai hingga dasarnya.
Meronta. Mau lari pun apa daya. Rasa kami begitu menjadi biasa seperti udara. Begitu alami, bahkan terkadang lupa. Hanya mulai sadar ketika memang hampir menghilang, entah pergi atau melarikan diri.
Perih. Kami harus terbiasa dengan sakitnya. Karena, sungguh, ini membuat kami bahagia tapi hukum alam selalu mempunyai reaksi pada setiap aksi. Maka kami selalu waspada terhadap sedih. Heran sekali, rasanya begitu menyayat hati meski kami sudah waspada setengah mati.
Lalu, bagaimana dengan kami? Pada dasarnya memang bukan akhir yang dicari, karena frasa "bahagia selamanya" bukanlah akhir. Melainkan perjalanan yang harus dilalui. Jadi, bagaimana kalau belajar menikmati perjalanan saja? Lalu membuat semua menjadi rutinitas yang jika tidak ada akan terasa akibatnya.
No comments:
Post a Comment