Wajah
Abu-abu Pemuda Indonesia
Refleksi
Kehidupan Setiap Lini Bangsa Indonesia
Oleh:
Izzah A. Wardah.
Orasi
menggelitik yang saya dengar sebelum peringatan sumpah pemuda, “Anak SMA
tawuran, bahkan mahasiswa sebagai bibit
kaum intelek melakukan tindakan anarki yang mengejutkan.” Ah, kaum intelek.
Pantaskah?
Ketika
kembali kepada janji-janji dan romantisme sumpah pemuda berpuluh-puluh tahun
yang lalu dengan semangat menyatukan nusantara, atau teringat pada jatuhnya
Orde Lama oleh seruan dan aksi mahasiswa dan penggulingan Orde Baru yang juga
dilakukan oleh agen perubahan ini, saya kembali bertanya-tanya apakah memang
semangat itu tetap terpatri dalam jiwa generasi penerus bangsa ini? Tidak bisa
dipungkiri semangat pemuda Indonesia untuk memajukan Bumi Pertiwi terus
digalakkan dengan banyak cara, sebagai salah satu contoh adanya Gerakan
Indonesia Mengajar. Hal yang saya rasa sangat baik untuk dilakukan. Namun
ketika saya kembali menengok ke sekeliling, saya melihat dan menemukan paradigma
yang berbeda terjadi di sekitar saya.
Apa
yang membuat pemuda Indonesia kehilangan sinar dan hingar-bingar dalam
menjunjung tinggi cita-cita bangsa maupun menyejahterakan rakyat bukan hanya
kecacatan dalam output yang ada sekarang, melainkan karena adanya paradigma
masyarakat di setiap lini kehidupan bangsa yang konservatif. Saya bukan
pengamat politik yang handal yang tahu siapa itu Karl Max atau politikus dunia.
Menurut saya politik adalah sesuatu yang akan menjegalmu ketika lengah dan
penuh lubang di mana-mana. Namun ketika politik ini menyangkut bangsa kita,
suatu kewajiban penerus bangsa untuk tahu dan paham apa yang terjadi dengan
bangsa Indonesia.
Saya
merasa bahwa kesalahan pertama yang terjadi adalah matinya rasa peka pada
bangsa. Saya heran dan penasaran mengapa nilai-nilai kehidupan pancasila
diajarkan sambil lalu saja saat Sekolah Dasar dan malah menuntut kerja otak
yang tidak pada waktunya pada anak didik. Hal pertama yang saya yakini untuk
merubah bangsa adalah memperbaiki kaum mudanya dan saya menyakini bahwa untuk
merubahnya membutuhkan pondasi dan kesadaran intelektual yang tinggi dalam
prosesnya. Pemuda tidak hanya harus dituntut untuk mengerti apa itu energi dan
rumus apa yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan eksak ataupun yang
sangat bersifat teoritis. Namun, seharusnya dituntut untuk memiliki
nasionalisme tinggi tanpa membabi buta dengan akar-akar idealisme yang
ditanamkan sejak dini serta kesadaran penuh atas makna pancasila dan cita-cita
bangsa.
Bobroknya
sistem pendidikan dasar Indonesia yang hanya menuntut kerja otak tanpa hati
melahirkan pemuda-pemuda yang memiliki ego dan hedonisme yang tinggi.
Nasionalisme hampir mati. Pemuda lebih banyak mengerti apa itu untung rugi dan
timbal balik tanpa paham sebab akibat. Pemuda lupa bahwa masih banyak
potret-potret masyarakat yang menantikan pergerakan pemuda untuk ikut andil
dalam perubahan bangsa.
Suatu
ketika saya melihat buku yang berjudul “Menghadang Negara Gagal” (saya lupa
karangan siapa) yang menceritakan bahwa Negara Indonesia merupakan bibit Negara
gagal peringkat ke 73 dari 128 negara di dunia menurut Fund for Peace. Lihat saja pada kenyataannya. 20% generasi muda
telah melakukan seks bebas, hampir 30% generasi muda memakai narkoba.
Ironisnya, mereka yang melakukan kebanyakan adalah pemuda-pemuda beruntung yang
terdidik dengan sistem pendidikan formal yang dibuat Negara. Ocehan
bermacam-macam dilontarkan dari banyak pihak bangsa. Ada yang mengiyakan, ada
yang menyetujui tetapi tidak seratus persen dengan memaparkan seribu analisis,
dan ada yang masih kekeuh melontarkan
komentar defensif. Sesungguhnya bukan saatnya lagi elemen bangsa ini
melontarkan kalimat-kalimat cerdas melankolik ataupun kutukan dan hujatan,
karena bangsa lebih membutuhkan aksi nyata yang membawa perubahan.
Ketika
mengamati apa yang terjadi pada media massa, saya merasa demokrasi pancasila
mengalami degradasi nilai bangsa menjadi suatu bangsa yang liberal, menuntut
kebebasan perseorangan dan lupa kesatuan bangsa Indonesia. Hampir semua lapisan
masyarakat melakukan tindakan konservatif untuk melindungi diri sendiri. Sedikit
tersinggung, lapor polisi. Sedikit disenggol, sukanya main meniup peluit
peringatan. Bangsa lupa arti kata introspeksi.
Media
massa melupakan kode etik jurnalistik. Media massa bukan lagi pembawa kebenaran
melainkan pemanas isu publik, bukan lagi penengah melainkan pengadu domba. Media
massa lupa apa itu sastra, lupa bagaimana kekuatan opini yang mereka gemborkan untuk
bangsa.
Tokoh-tokoh
bangsa yang hanya itu-itu saja tetap eksis bermunculan di kancah media membuat
masyarakat bosan dan semakin apatis dengan keadaan kritis bangsa. Pemerintah
miskin kepercayaan, padahal bangsa harus bersatu padu jika ingin memperbaiki chaos yang terjadi di NKRI. Pemuda
seolah dibungkam, atau memang membungkamkan diri dan menutup mata tentang apa
yang terjadi pada bangsa. Pemuda mengamati, tapi masyarakat mengharapkan kita
lebih berani. Janji-janji mengenai Peran Fungsi Mahasiswa yang kita emban
seharusnya bukan hanya menjadi perhiasan untuk mempercantik gelar pemuda
sekarang. Kebutuhan masyarakat seharusnya menjadi prioritas utama kaum
intelektual dan pemerintah. Namun, ketika persoalan dan kebutuhan masyarakat
tersebut tidak menyenggol dua peran besar dalam bangsa tersebut, dua peran
tersebut akan tetap pada zona aman masing-masing.
Saya
bukan kritikus yang menulis artikel ini karena merasa benar sendiri, melainkan
saya hanya merefleksikan apa yang terjadi dengan adanya saya juga dalam peran
sebagai pemuda. Saya tetap memegang cita-cita bangsa menjadi masyarakat madani.
“Percuma, bangsa sudah terlanjur
bobrok, jangan tinggi-tinggi jika bermimpi.” Komentar
seseorang pada saya. Saya menaikkan alis, heran. Jika orang-orang yang masih
memegang teguh cita-cita puitis lenyap, pada apa lagi bangsa ini harus mencari
hakekat bangsa untuk memperjuangkannya?
Bangsa yang tidak mengetahui
sejarahnya sendiri akan melakukan kesalahan yang sama yang pernah dilakukan
pendahulunya.
HIDUP MAHASISWA! HIDUP
RAKYAT INDONESIA!
No comments:
Post a Comment