Iri? Ah, hati ini menjadi jelek sekali ketika ada rasa iri, curiga, cemburu. Seolah-olah apa yang kita miliki sekarang bukan titipan Yang Maha Agung saja. Seolah-olah kita akan hidup selamanya. Lalu apa-apa yang kita anggap kita miliki akan terus bersama. Padahal sesungguhnya saat lahir kita sendirian maka saat kita meninggalkan dunia ini pun akan tetap sendirian.
Untuk kamu, apakah menurutmu saat kita mengikat janji nanti, saat kita memutuskan untuk menyempurnakan agama bersama akan terjadi sebentar lagi? Dua tahun? Tiga tahun? Aku tidak tahu. Kamu pun juga tidak tahu, bukan? Untuk sementara aku akan terus belajar menjadi pendampingmu yang baik. Kalau kita saling mengikat sekarang, aku takut kamu akan kecewa aku belum bisa memasak. Lalu aku akan memberimu apa setiap pagi?
Jangan tertawa, aku juga heran mengapa aku belum bisa memasak. Tapi aku berjanji aku akan belajar. Biar kamu juga tidak malu. Tapi aku akan senang kalau kamu tidak terlalu memedulikannya.
Bagaimana kabarmu hari ini? Apakah sedang terjebak dalam rutinitas yang begitu-begitu saja? Tidak apa-apa. Aku harap kamu selalu dalam dekapan Tuhan hingga Tuhan mendekap kita berdua.
Sebenarnya surat ini berisikan rinduku padamu. Tapi aku bingung aku harus memulai darimana. Selain itu, aku penasaran akan sesuatu. Ini bermula ketika aku merindukan Surga. Begitu rindu hingga aku benar-benar merasa tawakkal bagaimana Tuhan akan membawaku kesana. Kapan ya kira-kira? Apakah saat aku baru saja bertemu denganmu? Atau setelah kita menjalani kehidupan bersama untuk waktu yang lama?
Kamu. Kalau semisal aku telah kembali kepada Surga sebelum kita saling mengikat janji, sebelum aku dan kamu bersama dengan jalan yang Tuhan inginkan, apa yang akan kamu lakukan? Jika aku baru saja merasa bahagia telah bersamamu, lalu aku diambil ke Surga, apa yang akan kamu lakukan? Dan jika kita telah bersama-sama hingga tua dan Surga memanggilku terlebih dahulu, apa yang akan kamu lakukan?
Aku sungguh sedih memikirkannya. Apakah ini karena aku terlalu mencintaimu hingga melebihi cintaku pada-Nya? Ataukah memang seperti ini membayangkan perpisahan meski hanya perpisahan raga? Bolehkah aku sedikit merenunginya?
Kamu. Aku tidak akan melarangmu bersedih ketika aku pergi. Tapi jangan terlalu larut dalam kesedihan. Nanti aku akan ikut bersedih. Aku ingin menantimu di sana, maka kamu harus baik-baik di dunia ini. Jalani yang baik, tinggalkan yang buruk.
Jika kamu yang akan meninggalkanku terlebih dahulu, apa yang akan aku lakukan? Aku akan melanjutkan hidup, tapi aku akan membersamaimu dalam kenangan. Aku akan begitu merindukanmu dan menantikan pertemuan kita.
Maafkan aku membuat surat seperti ini. Aku merasa sedih.
Kamu. Aku harap kamu menjalani hidupmu dengan baik. Kalau memang kita ditakdirkan untuk disatukan, maka kita akan menjadi satu. Entah di sini atau di sana. Aku ingin mencintaimu karena-Nya.
Barakallah untuk kamu.
Dari Aku.
No comments:
Post a Comment